Nama
:
Ladilla Nur Chlorella
Npm
:
20208720
Kelas : 4 EB 14
Tugas ke : 3 (neraca perdagangan
internasional)
Kondisi
perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi perekonomian dunia
semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi negara yang satu dan
negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan jasa. Dengan
menurunkan biaya transportasi,
komunikasi, berkembangnya teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan
bagi arus barang dan jasa antar negara menghilangkan batas antar negara yang
satu dan negara yang lain, sehingga
terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga
melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama
ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral contohnya
AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari 2010 ini adalah
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)
Implikasi globalisasi
ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat dihindarkan sebab globalisasi hukum
mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai
undang-undang dan perjanjian melewati batas negara.Masuknya Indonesia sebagai
anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Agreement in Establishing The World Trade Organization
/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi
baik
eksternal maupun
internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil
kesepakatan dalam forum WTO, sementara konsekuensi internal Indonesia harus
melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan nasional sesuai dengan
hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan bebas
mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di dalam negeri sendiri
maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar bagi Indonesia karena
kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun kuantitas masih lemah
Seiring dengan
penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan dan integrasi ekonomi
nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan mekanisme pasar yang memiliki
persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tidak jarang
mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan
harga (price or nor price) . Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi
harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping
Dumping merupakan suatu
hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga. Masalah
dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan semakin penting
bagi Negara berkembang yang akan meningkatkan ekspor nonmigas terutama dibidang
manufaktur. Praktik dumping dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair
(unfair), karena bagi negara pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam
negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya
jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
akan kalah bersaing. Praktek banting harga itu pun dapat berakibat kerugian
bagi perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut
mengharuskan pemerintah suatu negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu
terhadap berbagai praktik bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai suatu
perbuatan yang dilarang dan dapat dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.
Istilah dumping didalam
dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek yang wajar untuk penjualan suatu
barang oleh suatu perusahaan industri, namun pada kenyataannya dapar
menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negeri lain
(Negara pengimpor). Dumping juga tidak
terlepas dari praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata negara
yang semuanya menjadi satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global
menunjukkan bahwa praktek dumping tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi
penting karena terjadi perdagangan dunia. Daya saing dari industri
negara-negara maju telah diimbangi oleh produsen-produsen negara berkembang.
Terkait dengan
perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga dapat menimbulkan dampak
baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan
dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara
dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya dipasarkan
di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif
yang harus bersaing dengan produk China. Para kepala negara anggota ASEAN dan
China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani
Framework Agreement onComprehensive Economic Co-operation between The
Association of Southeast
Asian Nations and The
People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement AC-FTA
tersebut adalah:
a. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama
ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak;
b. Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa
dan investasi;
c Mencari area baru dan mengembangkan
kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;
d Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih
efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua
belah pihak.
Selain itu kedua pihak
juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:
a. Penghapusan tarif dan hambatan non tariff
dalam perdagangan barang;
b. Liberalisasi secara progresif perdagangan
jasa;
c. Membangun regim investasi yang kompetitif
dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China
FTA
Dalam
lima tahun terakhir peningkatan impor dari China pada umumnya diatas 20 %
pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China berpotensi dan sudah
menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk yang sejenis. Pada bulan
Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini di Indonesia. Dimana
kualitas barangnya seadanya, tetapi haraganya yang murah meriah membuat produk
China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China
defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar
AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar dollar AS.
Pemberlakuan
ACFTA telah menuai dampak negatif juga
dimana sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor
perdagangan, hal ini dapat dicontohkan penyurutan
manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja pada
tahun 2000 sebanyak 300.000 orang di antaranya
terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun
kian bertambah.
Survey yang dilakukan
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia langsung ke Shanghai dan
Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting harga (dumping) untuk
beberapa produk yang diekspor ke
Indonesia. Dari 190 barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30
produk dengan harga lebih Universitas Sumatera Utaramurah dibandingkan dengan
harga di pasar lokal mereka. Artinya, China telah menerapkan politik dumping.
Sebagai
negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral, Indonesia telah
meratifikasi Agreement Estabilihing the
WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sebagaikonsekuensinya Indonesia
kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya
dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Indonesia sebagai
salah satu negara yang telah menyetujui
GATT dan WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping
sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah diadakan
beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian
tamabahan tersebut dikenal dengan code. Hal ini ditindaklanjuti dengan
disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code 1979, kemudian
digantikan dengan Uruguay Round dengan nama
Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan
Multilateral Trade Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu ditandatangi
bersamaan dengan penandatanganan Agreement
Estabilishing the World Trade Organization di Marrakesh (Maroko) pada tanggal
15 April 1994. Jadi dengan demikian Antidumping Code tahun 1994 suatu paket
yang inklusif atau integral dari Agreement Estabilihing the WTO. 1996 tentang
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti dengan beberapa
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Ketentuan
Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang mengancam produk industri
dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam
menghadapi China dalam perdagangan bebas ini seharusnya Indonesia sudah matang
dalam pembelaan industri dalam negeri karena China juga terkenal sering
melakukan politik dumping.
Tentu dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah
sembarangan, haruslah digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea
masuk antidumping hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam penyelidikan
antidumping, dimana kriterianya adalah adalah:
1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke
suatu negara;
2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang
dibawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping;
3. Adanya kerugian terhadap industri dalam
negeri;
4. Adanya hubungan sebab akibat antara
penjualan dengan harga ekspor