Selasa, 29 Mei 2012

Tugas 3 (Neraca Perdagangan Internasional)


Nama               : Ladilla Nur Chlorella
Npm                : 20208720
Kelas               : 4 EB 14
Tugas ke          : 3 (neraca perdagangan internasional)


Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi perekonomian dunia semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi negara yang satu dan negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan jasa. Dengan menurunkan biaya transportasi,  komunikasi, berkembangnya teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar negara menghilangkan batas antar negara yang satu dan negara yang lain, sehingga  terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari 2010 ini adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)
Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas negara.Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Agreement in Establishing The World Trade Organization /WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik
eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sementara konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar bagi Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun kuantitas masih lemah
Seiring dengan penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping
Dumping merupakan suatu hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga. Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang yang akan meningkatkan ekspor nonmigas terutama dibidang manufaktur. Praktik dumping dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena bagi negara pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis akan kalah bersaing. Praktek banting harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut mengharuskan pemerintah suatu negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan dapat dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.
Istilah dumping didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan industri, namun pada kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negeri lain (Negara  pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata  negara  yang semuanya menjadi satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi penting karena terjadi perdagangan dunia. Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh produsen-produsen negara berkembang.
Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif yang harus bersaing dengan produk China. Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement onComprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast
Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah:
a.    Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak;
b.    Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi;
c     Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;
d     Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak.



Selain itu kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:
a.    Penghapusan tarif dan hambatan non tariff dalam perdagangan barang;
b.    Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa;
c.    Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka  ASEAN-China FTA
Dalam lima tahun terakhir peningkatan impor dari China pada umumnya diatas 20 % pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China berpotensi dan sudah menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk yang sejenis. Pada bulan Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini di Indonesia. Dimana kualitas barangnya seadanya, tetapi haraganya yang murah meriah membuat produk China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar dollar AS.
Pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak  negatif juga dimana sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan, hal ini dapat dicontohkan  penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja pada tahun 2000 sebanyak 300.000 orang di antaranya  terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun kian bertambah.
Survey yang dilakukan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia langsung ke Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke  Indonesia. Dari 190 barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih Universitas Sumatera Utaramurah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka. Artinya, China telah menerapkan politik dumping.
Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral, Indonesia telah meratifikasi  Agreement Estabilihing the WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sebagaikonsekuensinya Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Indonesia sebagai salah  satu negara yang telah menyetujui GATT dan WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal dengan code. Hal ini ditindaklanjuti dengan disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code 1979, kemudian digantikan dengan Uruguay Round dengan nama  Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu ditandatangi bersamaan dengan penandatanganan  Agreement Estabilishing the World Trade Organization di Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Jadi dengan demikian Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau integral dari Agreement Estabilihing the WTO. 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti dengan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Ketentuan Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang mengancam produk industri dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini seharusnya Indonesia sudah matang dalam pembelaan industri dalam negeri karena China juga terkenal sering melakukan politik dumping.
Tentu  dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea masuk antidumping hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik  dumping dapat dibuktikan dalam penyelidikan antidumping, dimana kriterianya adalah adalah:
1.    Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;
2.    Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping;
3.    Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;
4.    Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor